Bermula dari Rak Belakang


Entah siapa yang mengajari, sejak kecil saya sangat senang membaca dan menggambar. Saya tumbuh bukan dari keluarga yang senang membaca. Bapak saya yang seorang militer (namun lebih senang berdagang, sehingga memilih pensiun dini). Mak saya tentu saja ikut ke mana arah suaminya. Saat usia saya 12 tahun, bapak meninggal dunia. Praktis, mak-lah yang mengambil alih pimpinan keluarga dengan lima anak yang masih kecil-kecil. Beliau wanita yang keras, pekerja keras, semata-mata tak ingin kami jadi anak yatim terlantar. Beliau sangat mementingkan pendidikan kami, sehingga terkadang tak sempat memikirkan hal-hal lain, misalnya, kesenangan saya tadi...

Dan itulah, entah siapa yang mengajari, sejak kecil saya sangat senang membaca dan menggambar. Sudah saya telusuri pohon silsilah keluarga, khususnya yang berdarah seni, baik dari pihak Bapak, pihak Mak, sampai ke atas-atasnya. Tidak ada. saya hanya menemukan satu sepupu, anak tante saya yang kini bermukim di Palembang, yang seniman tulen. Ia sekolah di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Padang sekitar tahun 1987. Pernah satu bulan saya numpang tinggal dengannya di Indarung, Padang, saat saya tamat SMP, hanya untuk bisa share soal dunia melukis. Sekarang, saya tak pernah tahu kabar sepupu itu lagi.

Di kedai mak, sumur nafkah keluarga kami dulu, saya selalu tertarik dengan tumpukan koran-koran bekas satu-dua bal di rak belakang. Saat Mak sibuk melayani pembeli, saya malah sibuk di belakang, membongkar koran-koran itu. Macam-macam nama korannya, mulai dari Canang, Singgalang, Kompas, Pikiran Rakyat, hingga The Wall Street Journal dan The Strait Times keluaran Singapura. Entah mengapa, mula-mula saya senang melihat gambar-gambar yang ada di koran-koran itu, apalagi koran luar negeri, iklan-iklannya megah, kolosal, dan amat menarik hati. Masih saya ingat, saya amat senang dengan gambar Statue of Liberty. Asal saya berjumpa dengan gambar patung yang terkenal itu, dari manapun angle-nya, selalu saya gunting baik-baik, dibawa pulang, dan disimpan dalam portofolio tersendiri.

Lama kelamaan, saya pun mulai mengagumi tata letak koran itu (belakangan setelah saya sempat bekerja di dunia jurnailistik, saya tahu namanya lay-out). Selalu saya bandingkan Canang, Singgalang dengan The Strait Times. Jauh sekali perbedaannya. Tanpa sadar, minat saya di dunia penerbitan sudah mulai dari situ. Tanpa sadar pula, satu dua kata bahasa inggris dari media-media asing tersebut terekam di memori saya (yang belakangan membuat saya berminat dengan pelajaran Bahasa Inggris). Kata-kata seperti holiday on ice, great sale, tour, travelling, adalah di antaranya... Di media asing pula saya yang masih bocah mengenal tokoh-tokoh Disney, seperti Donald Duck, Mickey Mouse, Alice in Wonderland, Snow White and The Seven Dwarfs, dan banyak lagi. Saya sangat menyukai ekspresi tokoh-tokoh Disney tersebut. Hingga saat ini.

Saya tenggelam di rak belakang itu, di dunia saya sendiri, dan sangat menikmatinya. Saat teman-teman saya bermain sepeda, mengejar layangan, mengejar helikopter lewat sambil berteriak-teriak, saya justru surfing and browsing di rak belakang...

Kota saya, seperempat abad yang lalu, belum ada akses apapun untuk memenuhi dahaga saya akan membaca. Ada satu dua taman bacaan, namun penuh dengan buku Fredy S, Abdullah Harahap, Ganes Th, Gundala Putra Petir, atau Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Saya tidak menyukai bacaan-bacaan seperti itu. Suatu ketika, Tengku Gunawan Fabri, seorang bocah seusia saya yang pindahan dari kota besar, membuka Pustaka Mini di rumahnya. Pustaka itu ia buka karena ia mempunyai ratusan koleksi novel dan komik bagus yang jauh lebih bermutu. Semua novel remaja karya Enyd Blyton atau Sherlock Holmes, album Donal Bebek (tentu saja), Petualangan Tintin, komik Deni Manusia Ikan, serial Imung karya Arswendo Atmowiloto, Nina Komik Top, dan serial The Action Comics, saya lahap tak bersisa. Si Fabri juga menyewakan majalah Bobo, Ananda, KawanKu, Sahabat, dan majalah Hai, yang tentu saja tak saya lewatkan (saking rajinnnya meminjam, Fabri kadang-kadang menggratiskan untukku, hehehe...).

Kami pun bersahabat, sampai akhirnya dia pindah ke kota asalnya. Saya pun tak pernah tahu kabarnya sejak itu. Belakangan iseng-iseng saya search dia di facebook ini, dan tepat seperti perkiraan saya, nama 'Tengku Gunawan Fabri' hanya satu, ya dia itu, sahabat lama saya. Lima belas menit lamanya saya menatap fotonya yang sudah dewasa, dengan beragam kenangan melintas. Namun anehnya, hingga kini saya belum meng-add dia untuk jadi teman saya.

Entah, padahal ia termasuk salah satu yang mempengaruhi hidup saya, saya tidak yakin apa dia masih mengingat saya atau tidak. Masalahnya 25 tahun yang lalu, sudah terlalu lama...

Di masa SMP, minat membaca dan menggambar itu kian menjadi, malah bertambah. Saya juga mulai senang menulis. Buku catatan pelajaran saya penuh dengan gambar dan puisi-puisi, hingga Mak dan guru di sekolah sering memarahi saya. Di perpustakaan sekolah, ada buku favorit yang selalu saya baca berulang-ulang. Judulnya Winnetou Ketua Suku Apache karya penulis Jerman Karl Friedrich May (1842-1912). Buku empat jilid itu mengisahkan petualangan Old Shatterhand dari Eropa menaklukkan Dunia Baru (Amerika) yang baru ditemukan Christoper Columbus, dan kemudian bersahabat dengan orang-orang Indian. Buku itu bagi saya luar biasa, sebagaimana kekaguman saya dengan cerita-cerita petualangan keliling dunia (seperti Around the World in 80 Days/Jules Verne). Barangkali itu pula asal muasal saya menyenangi traveling saat ini.

Winnetou menjadi obsesi tersendiri bagi saya, hingga akhirnya saya memulai 'catatan kriminal' pertama, yaitu mencuri ke-4 jilid buku itu dari perpustakaan sekolah. Dan, sukses! Saya sama sekali tidak merasa berdosa --malah bahagia-- bisa mengoleksi buku tersebut. Dan, itulah koleksi buku pertama saya: buku curian!

Saya baru jera mencuri buku ketika seorang teman SMP saya, Indrawadi Ade Wardhana (yang biasa dipanggil Ujang), menantang saya untuk bisa mencuri buku Ayahku karya Buya Hamka di perpustakaan sekolah. Buku itu tebal sekali, dan juga besar, persis sebesar dan setebal Alquran. Masalahnya kami sama-sama tidak suka dengan pegawai perpustakaan sekolah yang selalu ketus itu. Tantangan Ujang saya terima, dan karena sudah berpengalaman, kembali saya berhasil mencuri buku berharga tersebut. Ujang senang sekali, dan memohon agar ia diperbolehkan membaca lebih dulu. Permintaan Ujang saya penuhi. Saya serahkan buku itu padanya. Namun seminggu dua minggu, sebulan dua bulan, bahkan sampai kami tamat SMP, buku itu tidak juga dikembalikannya dengan berbagai alasan. Saya sampai marah, dan kami pun tidak bertegur sapa.

SMA kelas satu, kami tidak lagi satu sekolah. Saya di SMA 1, Ujang di SMA 2 yang baru dibuka (karena dekat dengan rumahnya). Ujang tak sempat menyelesaikan kelas satunya, ia meninggal dunia karena kecelakaan. Saya sangat kehilangan, sekaligus menyesal bermusuhan sampai akhir hayatnya. Saya melihat buku Ayahku di lemarinya, saat saya melayat ke rumahnya. Buku itu seakan berbicara pada saya, menghukum, hingga saya tidak berkeinginan untuk memilikinya lagi. Bahkan saat saya kembali melihat buku tersebut di Taman Pintar Yogyakarta beberapa tahun lalu, saya tidak berminat membelinya. Saya trauma. Hingga kini, saya tidak pernah tahu apa isi buku karya Hamka tersebut.

Di masa SMA, saya mulai menyadari saya hanya sendiri. Kesenangan-kesenangan saya, berbeda jauh dengan teman-teman sebaya, bahkan kawan akrab sekalipun. Teman-teman saya hanya tahu Kho Ping Hoo atau Fredy S, dan merasa aneh dengan selera saya. Saya menyenangi The Beatles dan Phil Collins, sedang mereka Pance Pondaag dan Panbers. Saya menyukai Little House on the Prairie dan Kramer vs Kramer, sementara mereka senang Satria Bergitar atau Maju Kena Mundur Kena. Bahkan ketika novel serial Lupus mewabah di tanah Air, mereka pun tak berminat membacanya.

Misunderstanding. Saya tak mengerti mereka, dan mereka pun tak mengerti saya. Ya sudah, tak perlu saling menyalahkan. Kami sama-sama menerima apa adanya. Barulah ketika saya akan naik kelas 3 SMA, saya bertemu dan berteman dengan Hendra Atilla, senior saya. Saya senang karena selain persamaan background keluarga, dia mempunyai minat yang sama dengan saya. Di rumahnya yang mempunyai stasiun radio amatir, saya menemukan The Beatles dan 'harta karun' lainnya yang selama ini saya impikan. Tila (panggilannya), sangat berwawasan, bicara apapun dengannya selalu nyambung, entah itu hobi, bacaan, film, atau musik. Kami jadi sangat akrab, seperti saudara. Hingga --jujur saja-- saya sangat kehilangan ketika ia melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Secara teratur kami selalu berkirim surat, sekali kirim sampai delapan lembar dengan huruf kecil-kecil. Lalu frekuensinya berkurang, dan menjadi tidak ada sama sekali, seiring dengan berjalannya waktu, bertambahnya usia, serta kesibukan dan dunia yang (barangkali) sudah berbeda. Saya kembali bertemu Tila, juga lewat jejaring sosial (facebook) ini, dan kini menjadi salah satu 'teman' saya.

Menjadi mahasiswa, minat saya tak jua lekang. Membaca, menggambar, dan menulis. Bahkan dua minat yang terakhir mulai menjadi sumber mata pencaharian saya di kampus. Bermula dari memberikan gratis contoh-contoh kartu ucapan, potret diri, atau media pembelajaran, kepada teman-teman dan senior yang praktek mengajar (karena saya kuliah di keguruan). Mereka amat senang, Kata mereka, karya saya unik, sangat bagus, dan belum pernah ada yang seperti itu sebelumnya. Setiap karya saya mereka hargai dengan membelikan makanan, rokok, atau uang sekadarnya. Walau saya tolak, mereka tetap bersikeras memberinya. Sejak itu pesanan mengalir tanpa henti. Mulai dari membuat kartu ulang tahun sampai lukisan dinding, mulai dari menulis puisi, spanduk, membuat makalah, bahkan dua skripsi pesanan pernah saya rampungkan di semester tujuh. Saya juga aktif di koran dinding kampus, yang akhirnya mengantarkan saya ke dunia jurnalistik (tahun 1993), menjadi wartawan yang sesungguhnya, menjadi redaktur pelaksana yang menyunting naskah dan mengelola lay-out. Lay-out! Demi Allah, seperti deja vu rasanya, saat saya membolak-balik halaman The Strait Times di rak belakang kedai Mak di masa silam...

Sangat menyenangkan, di saat uang belanja saya diatur ketat oleh Mak, saya masih bisa bersenang-senang dengan hasil keringat sendiri. Saya bisa bolak-balik menonton di 88 Teathre atau Holiday 88, dan membeli karya-karya sastra dan novel-novel bermutu yang harganya tidak murah. Saya juga bisa melakukan perjalanan melintas pulau dengan sesama mahasiswa, bertualang walau kecil-kecilan, seperti halnya Jules Verne atau Old Shatterhand...

Saya larut di dunia wartawan, dan harus saya akui, menjadi wartawan adalah salah satu momen terbaik dalam hidup saya, Akibatnya, kuliah pun terbengkalai, saya merampungkan S1 dengan waktu tak kurang dari tujuh setengah tahun! Itu pun saya selesaikan setelah pertengkaran yang cukup lama dengan Mak. Beliau kecewa saya tak kunjung jadi sarjana, padahal cuma saya satu-satunya yang berpendidikan strata satu di dalam keluarga. Demi beliau, saya menarik diri dari dunia jurnalistik, dan fokus ke kuliah, hingga saya pun selesai tahun 1997... Mengapa saya menarik diri, karena tak mungkin saya menjalani kedua-duanya. Dunia jurnalistik tak mengenal hari libur, identik dengan deadline, dan selalu dikejar-kejar waktu.

Sebenarnya saya sudah patah semangat kuliah. Namun untunglah saya punya sahabat tempat berbagi, yang selalu memberikan spirit di masa-masa sulit... Bukankah orang tak pernah lupa dengan orang-orang yang ada di dekatnya di masa susah? Saat itulah saya mencatat nama sahabat seperti Efri Susanto, Wan Yusli, dan Deddy Hasfarizal. Mereka, dengan caranya sendiri, menjadi suluh penerang di lorong kehidupan saya yang tergelap... Wan Yusli, Efri Susanto dan Deddy Hasfarizal, kini ada dalam daftar 'teman' di jejaring sosial ini.

Mungkin itulah takdir, rampung kuliah, iseng-iseng ikut tes PNS tahun itu juga, karena tak ada panggilan dari rekan-rekan lama di koran dulu. Dan ternyata saya lulus. Saya sempat apatis, jadi guru adalah dunia lain yang tak pernah terbayangkan sejak kecil. Guru Bahasa Indonesia pula. Sementara di masa SMP dan SMA, pelajaran bahasa Indonesia sangat saya benci, karena gurunya selalu membuat ngantuk. Saya lebih senang Bahasa Inggris, Sosiologi dan Antropologi, Tata Negara, dan tentu saja, menggambar.

Seperti kata orang melayu, sekali layar terkembang pantang surut ke belakang. Saya pun menjalani dunia baru tersebut. Toh saya punya bekal cukup, ilmu mendidik, dan menyenangi sastra. Saya mantapkan hati, saya ikhlaskan niat, percaya bahwa Allah tentu telah memilih yang terbaik untuk saya. Saya pun menjadi guru di SMP, dan tak terasa sudah 12 tahun dijalani. Sangat menyenangkan mendidik generasi muda, memberikan mereka teladan dan pengertian, menjadi sahabat mereka, teman curhat mereka, dan bagian hidup mereka. Bagi saya, menjadi guru tak semata-mata mengajar di depan kelas, tapi juga mendidik siswa memaknai kehidupan... Alhamdulillah, saya mencintai profesi saya sekarang. Saya mencintai seluruh anak didik. Bahagia rasanya jika Anda dicintai dan dirindukan ratusan bahkan ribuan orang masa ke masa. Saya seakan menimba pahala di lautan kebajikan yang tak pernah kering. Dan saya pun percaya, menjadi guru juga salah satu momen terbaik dalam hidup saya...

Lantas, sudah putuskah saya dari dunia jurnalistik?

Di tahun kedua menjadi guru, saya kembali 'nyambi' jadi wartawan, karena diajak oleh bos saya dulu. Di sana saya mengenal orang-orang baru, salah satunya Arief Fachmy. Dia adalah mahasiswa fakultas ekonomi asal Bengkalis yang juga aktif di koran kampus, Bahana Mahasiswa. Di tahun-tahun pertama saya kuliah, koran ini cuma jadi alas kompor di tempat kos-kosan (maaf ya, Mi... hehe). Di tangan Arief Fachmy, Syahrul Tombang, dan kawan-kawannya yang kreatif, koran ini jadi lumayan bagus. Fahmy ini (panggilan Arief Fachmy, saya pertama memanggilnya Arief, baru belakangan menjadi Fachmy, karena di tanah leluhurnya ia lebih akrab disapa begitu), adalah sosok mahasiswa kreatif dan enerjik. Dia seperti mesin diesel yang tak pernah mengenal lelah. Fachmy tak segan-segan berguru pada seniornya seperti saya. Belajar sambil bekerja. Kuliahnya sangat lancar, dan kerjanya pun mengagumkan. Selain itu ia adalah pribadi yang santun pada yang lebih tua. Hal itulah yang membuat Fachmy saya masukkan ke dalam kehidupan saya. Dia pun sudah seperti adik bagi saya. Secara pribadi, Fachmy pun sangat berjasa menolong saya dalam keadaan-keadaan sulit. Hingga kini, walau berjauhan, saya dan Fachmy sampai sekarang masih rutin berkomunikasi, entah itu melalui telepon, sms, chatting, atau berkomentar di dinding facebook.

Sayangnya, dunia jurnalistik pun tak bisa lama-lama saya jalani. Selain faktor manajemen perusahaan yang amburadul, saya pun kesulitan membagi waktu dengan status pegawai negeri saya. Juga faktor usia yang tak lagi muda, membuat saya harus memilih mana yang harus ditinggalkan. Saya sudah tak sanggup menempuh ratusan kilometer dari sekolah ke kantor redaksi secara rutin setiap minggunya. Ada kemauan pindah mengajar, dan ada peluang. Namun, Mak yang mulai sakit-sakitan memohon agar saya tidak jauh-jauh darinya... Saya pun berhenti menjadi wartawan.

Mungkin itulah takdir. Sekarang saya bersyukur, apa yang sudah pernah saya alami, dan apa yang sudah dicapai sekarang, adalah karena Allah menyayangi saya. Bukan berarti saya puas, belum. Masih banyak yang belum saya dapatkan, masih banyak fase yang harus saya tempuh.

Kendati begitu, lewat catatan ini, saya berterima kasih kepada orang-orang yang sudah begitu berpengaruh dalam kehidupan saya. Semuanya sudah saya tuliskan dalam catatan ini. Mulai dari Tengku Gunawan Fabri, Hendra Atilla, Wan Yusli, Efri Susanto, Deddy Hasfarizal, Arief Fachmy, dan segenap anak didik saya yang sebagian pasti membaca tulisan ini. Perkenankan kusampaikan rasa terima kasih kepada semuanya...

Dan terutama sekali, untuk Mak, yang dengan caranya sendiri, telah mengantarkan saya menggapai apa yang saya impikan sejak kecil. Mak tak pernah membelikan buku atau komik, tapi beliau membiarkan saya membongkar koran-koran bekas di rak belakang kedainya. Sekarang saya sadar, seluruh skenario besar ini, berawal dari Mak. Terima kasih Mak.

Ya Allah, jagalah ibuku dengan cinta-Mu, sampaikan salam rinduku padanya...

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

Posting Komentar